Suku
Dayak
Istilah
"Dayak" paling umum digunakan untuk menyebut orang-orang asli
non-Muslim, non-Melayu yang tinggal di pulau itu. Ini terutama berlaku di
Malaysia, karena di Indonesia ada suku-suku Dayak yang Muslim namun tetap
termasuk kategori Dayak walaupun beberapa diantaranya disebut dengan Suku
Banjar dan Suku Kutai. Terdapat beragam penjelasan tentang etimologi istilah
ini. Menurut Lindblad, kata Dayak berasal dari kata daya dari bahasa Kenyah, yang
berarti hulu sungai atau
pedalaman. King, lebih jauh menduga-duga bahwa Dayak mungkin juga berasal dari
kata aja, sebuah kata dari bahasa Melayu yang berarti asli atau pribumi.
Dia juga yakin bahwa kata itu mungkin berasal dari sebuah istilah dari bahasa
Jawa Tengah yang berarti perilaku yang tak sesuai atau yang tak pada tempatnya.
Istilah untuk suku penduduk asli dekat
Sambas dan Pontianak adalah Daya (Kanayatn: orang daya= orang darat), sedangkan
di Banjarmasin disebut Biaju (bi= dari; aju= hulu). Jadi semula istilah
orang Daya (orang darat) ditujukan untuk penduduk asli Kalimantan Barat yakni
rumpun Bidayuh yang selanjutnya dinamakan Dayak Darat yang dibedakan dengan
Dayak Laut (rumpun Iban). Di Banjarmasin, istilah Dayak mulai digunakan dalam
perjanjian Sultan Banjar dengan Hindia Belanda tahun 1826, untuk menggantikan
istilah Biaju Besar (daerah sungai
Kahayan) dan Biaju Kecil (daerah sungai Kapuas Murung) yang
masing-masing diganti menjadi Dayak Besar dan Dayak Kecil.
Sejak itu istilah Dayak juga ditujukan untuk rumpun Ngaju-Ot Danum atau rumpun
Barito. Selanjutnya istilah “Dayak” dipakai meluas yang secara kolektif merujuk
kepada suku-suku penduduk asli setempat yang berbeda-beda bahasanya, khususnya
non-Muslim atau non-Melayu. Pada akhir abad ke-19 (pasca Perdamaian
Tumbang Anoi) istilah Dayak dipakai dalam konteks kependudukan penguasa
kolonial yang mengambil alih kedaulatan suku-suku yang tinggal di daerah-daerah
pedalaman Kalimantan. Menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bagian
Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Kalimantan Timur, Dr. August
Kaderland, seorang ilmuwan Belanda, adalah orang yang pertama kali mempergunakan istilah
Dayak dalam pengertian di atas pada tahun 1895.
Arti dari kata ‘Dayak’ itu sendiri
masih bisa diperdebatkan. Commans (1987), misalnya, menulis bahwa menurut
sebagian pengarang, ‘Dayak’ berarti manusia, sementara pengarang lainnya
menyatakan bahwa kata itu berarti pedalaman. Commans mengatakan bahwa arti yang
paling tepat adalah orang yang tinggal di hulu sungai. Dengan nama serupa,
Lahajir et al. melaporkan bahwa orang-orang
Iban menggunakan istilah Dayak dengan arti manusia, sementara
orang-orang Tunjung dan Benua mengartikannya
sebagai hulu sungai. Mereka juga menyatakan bahwa sebagian orang mengklaim
bahwa istilah Dayak menunjuk pada karakteristik personal tertentu yang diakui
oleh orang-orang Kalimantan, yaitu kuat, gagah, berani dan
ulet. Lahajir et al. mencatat bahwa setidaknya ada empat istilah
untuk penuduk asli Kalimantan dalam literatur,
yaitu Daya', Dyak, Daya, dan Dayak. Penduduk asli itu
sendiri pada umumnya tidak mengenal istilah-istilah ini, akan tetapi
orang-orang di luar lingkup merekalah yang menyebut mereka sebagai ‘Dayak’.
Asal mula
Secara umum kebanyakan penduduk
kepulauan Nusantara adalah penutur bahasa Austronesia. Saat ini teori dominan
adalah yang dikemukakan linguis seperti Peter
Bellwood dan Blust, yaitu bahwa tempat
asal bahasa Austronesia adalah Taiwan. Sekitar
4 000 tahun lalu, sekelompok orang Austronesia mulai bermigrasi ke Filipina.
Kira-kira 500 tahun kemudian, ada kelompok yang mulai bermigrasi ke selatan
menuju kepulauan Indonesia sekarang, dan ke timur menuju Pasifik.
Namun orang Austronesia ini bukan
penghuni pertama pulau Borneo. Antara 60 000 dan 70 000 tahun lalu, waktu
permukaan laut 120 atau 150 meter lebih rendah dari sekarang dan kepulauan
Indonesia berupa daratan (para geolog menyebut
daratan ini "Sunda"), manusia sempat bermigrasi dari benua Asia
menuju ke selatan dan sempat mencapai benua Australia yang saat itu tidak
terlalu jauh dari daratan Asia.Dari pegunungan itulah berasal sungai-sungai
besar seluruh Kalimantan. Diperkirakan, dalam rentang waktu yang lama, mereka
harus menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan kemudian mendiami
pesisir pulau Kalimantan. Tetek Tahtum menceritakan perpindahan suku
Dayak dari daerah hulu menuju daerah hilir sungai. Di daerah selatan Kalimantan
Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak di
daerah itu sering disebut Nansarunai Usak Jawa[28][29],
yakni kerajaan Nansarunai dari Dayak Maanyan yang
dihancurkan oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389.[30] Kejadian
tersebut mengakibatkan suku Dayak Maanyan terdesak dan terpencar, sebagian
masuk daerah pedalaman ke wilayah suku Dayak Lawangan. Arus besar berikutnya
terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasal dari kerajaan Demak bersama
masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun 1520).
Sebagian besar suku Dayak di wilayah
selatan dan timur kalimantan yang memeluk Islam keluar dari
suku Dayak dan tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut
dirinya sebagai atau orang Banjar dan Suku Kutai.
Sedangkan orang Dayak yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk
ke pedalaman, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi,Amuntai, Margasari,
Watang Amandit, Labuan Amas dan Watang Balangan. Sebagian
lagi terus terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk Islam kebanyakan berada di
Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang pimpinan Banjar
Hindu yang terkenal adalah Lambung
Mangkurat menurut orang Dayak adalah seorang Dayak (Ma’anyan
atau Ot Danum). Di Kalimantan Timur, orang Suku Tonyoy-Benuaq yang memeluk
Agama Islam menyebut dirinya sebagai Suku Kutai.[rujukan?] Tidak hanya
dari Nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa Tionghoa tercatat
mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming yang tercatat dalam Buku
323 Sejarah Dinasti Ming (1368-1643). Dari manuskrip berhuruf hanzi
disebutkan bahwa kota yang pertama dikunjungi adalah Banjarmasin dan disebutkan
bahwa seorang Pangeran yang berdarah Biaju menjadi
pengganti Sultan Hidayatullah I . Kunjungan tersebut pada masa Sultan Hidayatullah I dan
penggantinya yaitu Sultan Mustain Billah. Hikayat Banjar
memberitakan kunjungan tetapi tidak menetap oleh pedagang jung bangsa Tionghoa
dan Eropa (disebut Walanda) di Kalimantan Selatan telah terjadi pada masa
Kerajaan Banjar Hindu (abad XIV). Pedagang Tionghoa mulai
menetap di kota Banjarmasin pada suatu tempat dekat pantai pada tahun 1736.
Kedatangan bangsa Tionghoa di
selatan Kalimantan tidak mengakibatkan perpindahan penduduk Dayak dan tidak
memiliki pengaruh langsung karena mereka hanya berdagang, terutama dengan
kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga dengan orang
Dayak. Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak
seperti piring malawen, belanga (guci) dan peralatan keramik. Sejak awal abad V
bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada abad XV Kaisar Yongle mengirim
sebuah angkatan perang besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah pimpinanCheng Ho,
dan kembali ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya
singgah ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan Mempawah
menerima orang-orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas.
Orang-orang Tionghoa tersebut membawa juga barang dagangan diantaranya candu,
sutera, barang pecah belah seperti piring, cangkir, mangkok dan guci
Pembagian sub-sub etnis
Persebaran suku-suku Dayak di Pulau
Kalimantan.
Dikarenakan arus migrasi yang kuat
dari para pendatang, Suku Dayak yang masih mempertahankan adat budayanya
akhirnya memilih masuk ke pedalaman. Akibatnya, Suku Dayak menjadi
terpencar-pencar dan menjadi sub-sub etnis tersendiri. Kelompok Suku Dayak,
terbagi dalam sub-sub suku yang kurang lebih jumlahnya 405 sub (menurut J. U.
Lontaan, 1975). Masing-masing sub suku Dayak di pulau Kalimantan mempunyai adat
istiadat dan budaya yang mirip, merujuk kepada sosiologi kemasyarakatannya dan
perbedaan adat istiadat, budaya, maupun bahasa yang khas. Masa lalu masyarakat
yang kini disebut suku Dayak, mendiami daerah pesisir pantai dan sungai-sungai
di tiap-tiap pemukiman mereka.
Etnis Dayak Kalimantan menurut
seorang antropologi J.U. Lontaan, 1975 dalam Bukunya Hukum Adat dan Adat
Istiadat Kalimantan Barat, terdiri dari 6 suku besar dan 405 sub suku kecil,
yang menyebar di seluruh Kalimantan.
Dayak pada masa kini
Tradisi suku Dayak Kanayatn.
Dewasa
ini suku bangsa Dayak terbagi dalam enam rumpun besar, yakni: Apokayan (Kenyah-Kayan-Bahau), Ot Danum-Ngaju, Iban, Murut, Klemantandan Punan. Rumpun Dayak Punan merupakan
suku Dayak yang paling tua mendiami pulau Kalimantan, sementara rumpun Dayak
yang lain merupakan rumpun hasil asimilasi antara Dayak punan dan kelompok
Proto Melayu (moyang Dayak yang berasal dari Yunnan). Keenam rumpun itu terbagi
lagi dalam kurang lebih 405 sub-etnis. Meskipun terbagi dalam ratusan
sub-etnis, semua etnis Dayak memiliki kesamaan ciri-ciri budaya yang khas.
Ciri-ciri tersebut menjadi faktor penentu apakah suatu subsuku di Kalimantan
dapat dimasukkan ke dalam kelompok Dayak atau tidak. Ciri-ciri tersebut adalah
rumah panjang, hasil budaya material seperti tembikar, mandau, sumpit,
beliong (kampak Dayak), pandangan terhadap alam, mata pencaharian (sistem
perladangan), dan seni tari. Perkampungan Dayak rumpun Ot Danum-Ngaju biasanya
disebut lewu/lebu dan pada Dayak lain sering
disebutbanua/benua/binua/benuo. Di kecamatan-kecamatan di
Kalimantan yang merupakan wilayah adat Dayak dipimpin seorang Kepala Adat yang
memimpin satu atau dua suku Dayak yang berbeda.
Prof. Lambut dari Universitas Lambung Mangkurat, (orang
Dayak Ngaju) menolak anggapan Dayak berasal dari satu suku asal, tetapi hanya
sebutan kolektif dari berbagai unsur etnik, menurutnya secara "rasial",
manusia Dayak dapat dikelompokkan menjadi :
Namun di dunia ilmiah internasional,
istilah seperti "ras Australoid", "ras Mongoloid dan
pada umumnya "ras" tidak lagi dianggap berarti untuk membuatklasifikasi manusia
karena kompleksnya faktor yang membuat adanya kelompok manusia.
Tradisi
Penguburan
Peti kubur di Kutai. Foto tersebut
merupakan foto kuburan Dayak Benuaqdi Kutai. Peti yang dimaksud adalahSelokng (ditempatkan
di Garai). Ini merupakan penguburan primer - tempat mayat melalui
Upacara/Ritual Kenyauw. Sementara di
sebelahnya (terlihat sepotong) merupakan Tempelaq yang
merupakan tempat tulang si meninggal melalui Upacara/Ritual Kwangkay.
Tradisi penguburan dan upacara adat
kematian pada suku bangsa Dayak diatur tegas dalam hukum adat. Sistem
penguburan beragam sejalan dengan sejarah panjang kedatangan manusia di Kalimantan.
Dalam sejarahnya terdapat tiga budaya penguburan di Kalimantan :
penguburan tanpa wadah dan tanpa
bekal, dengan posisi kerangka dilipat.
penguburan di dalam peti batu
(dolmen)
penguburan dengan wadah kayu,
anyaman bambu, atau anyaman tikar. Ini merupakan sistem penguburan yang
terakhir berkembang.
Menurut tradisi Dayak Benuaq baik
tempat maupun bentuk penguburan dibedakan :
wadah tulang-beluang :
tempelaaq (bertiang 2) dan kererekng (bertiang 1) serta guci.
lubekng (tempat lungun)
garai (tempat lungun, selokng)
gur (lungun)
tempelaaq dan kererekng
Pada umumnya terdapat dua tahapan
penguburan:
penguburan tahap pertama (primer)
penguburan tahap kedua (sekunder).
Penguburan primer
Parepm Api (Dayak Benuaq)
Penguburan sekunder
Penguburan sekunder tidak lagi
dilakukan di gua. Di hulu Sungai Bahau dan cabang-cabangnya di Kecamatan Pujungan,
Malinau, Kalimantan Timur, banyak dijumpai kuburan tempayan-dolmen
yang merupakan peninggalan megalitik. Perkembangan terakhir, penguburan dengan
menggunakan peti mati (lungun) yang ditempatkan di atas tiang atau dalam
bangunan kecil dengan posisi ke arah matahari terbit.
Masyarakat Dayak Ngaju mengenal tiga
cara penguburan, yakni :
dikubur dalam tanah
diletakkan di pohon besar
dikremasi dalam upacara tiwah.
Prosesi penguburan sekunder
Tiwah adalah prosesi penguburan
sekunder pada penganut Kaharingan, sebagai simbol pelepasan arwah menuju lewu
tatau (alam kelanggengan) yang dilaksanakan setahun atau beberapa tahun setelah
penguburan pertama di dalam tanah.
Ijambe adalah prosesi penguburan
sekunder pada Dayak Maanyan. Belulang dibakar menjadi abu dan ditempatkan dalam
satu wadah.
Marabia
Mambatur (Dayak Maanyan)
Agama
Masyarakat rumpun Dayak Ngaju
dan rumpun Dayak Ot Danum menganut
agama leluhur yang diberi nama oleh Tjilik Riwut sebagai
agama Kaharingan yang
memiliki ciri khas adanya pembakaran tulang dalam ritual penguburan. Sedangkan
agama asli rumpun Dayak Banuaka tidak mengenal adanya pembakaran tulang
jenazah. Bahkan agama leluhur masyarakat Dayak Meratus di Kalimantan Selatan
lebih menekankan ritual dalam kehidupan terutama upacara/ritual pertanian
maupun pesta panen yang sering dinamakan sebagai agama Balian.
Agama-agama asli suku-suku Dayak sekarang ini kian lama kian ditinggalkan.
Sejak abad pertama Masehi, agama Hindu mulai memasuki Kalimantan dengan ditemukannya Candi Agung sebuah
peninggalan agama Hindu di Amuntai, Kalimantan Selatan, selanjutnya berdirilah kerajaan-kerajaan
Hindu-Buddha. Semenjak abad ke-4 masyarakat Kalimantan memasuki era sejarah yang
ditandai dengan ditemukannya prasasti peninggalan dari Kerajaan
Kutai yang beragama Hindu di Kalimantan Timur.[43] Penemuan
arca-arca Buddha yang merupakan peninggalan Kerajaan Brunei kuno, Kerajaan Sribangun
(di Kota Bangun, Kutai Kartanegara)[44] dan Kerajaan Wijayapura. Hal ini menunjukkan
munculnya pengaruh hukum agama Hindu-Buddha dan asimilasi dengan budaya Indiayang menandai
kemunculan masyarakat multietnis yang pertama kali di Kalimantan. Dengan
menyebarnya agama Islam sejak abad ke-7 mencapai puncaknya di awal abad ke-16,
masyarakat kerajaan-kerajaan Hindu menjadi pemeluk-pemeluk Islam yang menandai
kepunahan agama Hindu dan Buddha di Kalimantan. Sejak itu mulai muncul hukum adat Melayu/Banjar
yang dipengaruhi oleh sebagian hukum agama
Islam (seperti budaya makanan, budaya berpakaian, budaya
bersuci), namun umumnya masyarakat Dayak di pedalaman tetap memegang teguh pada
hukum adat/kepercayaan Kaharingan. Sebagian besar masyarakat Dayak yang
sebelumnya beragama Kaharingan kini memilih Kekristenan,
namun kurang dari 10% yang masih mempertahankan agama Kaharingan. Agama
Kaharingan sendiri telah digabungkan ke dalam kelompok agama Hindu (baca: Hindu
Bali) sehingga mendapat sebutan agama Hindu Kaharingan. Namun ada pula sebagian
kecil masyarakat Dayak kini mengkonversi agamanya dari agama Kaharingan menjadi
agama Buddha (Buddha versi Tionghoa), yang pada mulanya muncul karena adanya
perkawinan antarsuku dengan etnis Tionghoa yang
beragama Buddha,
kemudian semakin meluas disebarkan oleh para Biksu di kalangan
masyarakat Dayak misalnya terdapat pada masyarakat Dayak yang tinggal di
kecamatan Halong di Kalimantan Selatan. Di
Kalimantan Barat, agama Kristen diklaim sebagai agama orang Dayak
(sehingga Dayak Muslim Kalbar terpaksa membentuk Dewan Adat Dayak Muslim
tersendiri), tetapi hal ini tidak berlaku di propinsi lainnya sebab orang Dayak
juga banyak yang memeluk agama-agama selain Kristen misalnya ada orang Dayak
yang sebelumnya beragama Kaharingan kemudian masuk Islam namun tetap menyebut
dirinya sebagai suku Dayak. Agama sejati orang Dayak adalah Kaharingan. Di
wilayah perkampungan-perkampungan Dayak yang masih beragama Kaharingan berlaku
hukum adat Dayak, namun tidak semua daerah di Kalimantan tunduk kepada hukum
adat Dayak, kebanyakan kota-kota di pesisir Kalimantan dan pusat-pusat kerajaan
Islam, masyarakatnya tunduk kepada hukum adat Melayu/Banjar seperti suku-suku Melayu-Senganan,
Kedayan, Banjar, Bakumpai, Kutai, Paser, Berau, Tidung, dan Bulungan. Bahkan di
wilayah perkampungan-perkampungan Dayak yang telah sangat lama berada dalam
pengaruh agama Kristen yang kuat kemungkinan tidak berlaku hukum adat
Dayak/Kaharingan. Di masa kolonial, orang-orang bumiputera Kristen
dan orang Dayak Kristen di perkotaan disamakan kedudukannya dengan orang Eropa
dan tunduk kepada hukum golongan Eropa. Belakangan penyebaran agama Nasrani
mampu menjangkau daerah-daerah Dayak terletak sangat jauh di pedalaman sehingga
agama Nasrani dianut oleh hampir semua penduduk pedalaman dan diklaim sebagai
agama orang Dayak.
Jika kita melihat sejarah pulau
Borneo dari awal. Orang-orang dari Sriwijaya, orang Melayu yang
mula-mula migrasi ke Kalimantan. Etnis Tionghoa Hui Muslim Hanafi menetap
di Sambas sejak tahun 1407, karena pada masa Dinasti Ming,
bandar Sambas menjadi pelabuhan transit pada jalur perjalanan dari Champa ke Maynila, Kiu
kieng (Palembang) maupun ke Majapahit.[45] Banyak
penjabat Dinasti Ming adalah orang Hui Muslim yang
memiliki pengetahuan bahasa-bahasa asing misalnya bahasa Arab. Laporan
pedagang-pedagang Tionghoa pada masa Dinasti Ming yang mengunjungi Banjarmasin
pada awal abad ke-16 mereka sangat khawatir mengenai aksi pemotongan kepala
yang dilakukan orang-orang Biaju di saat para pedagang sedang tertidur di atas
kapal. Agamawan Nasrani dan penjelajah Eropa yang tidak menetap telah datang di
Kalimantan pada abad ke-14 dan semakin menonjol di awal abad ke-17 dengan
kedatangan para pedagang Eropa. Upaya-upaya penyebaran agama Nasrani selalu
mengalami kegagalan, karena pada dasarnya pada masa itu masyarakat Dayak
memegang teguh kepercayaan leluhur (Kaharingan) dan curiga kepada orang asing,
seringkali orang-orang asing terbunuh. Penduduk pesisir juga sangat sensitif
terhadap orang asing karena takut terhadap serangan bajak laut dan kerajaan
asing dari luar pulau yang hendak menjajah mereka. Penghancuran keraton Banjar
di Kuin tahun 1612 oleh VOC Belanda dan serangan Mataram atas Sukadana tahun
1622 dan potensi serangan Makassar sangat mempengaruhi kerajaan-kerajaan di
Kalimantan. Sekitar tahun 1787, Belanda memperoleh sebagian besar Kalimantan
dari Kesultanan Banjar dan Banten. Sekitar tahun 1835 barulah misionaris
Kristen mulai beraktifitas secara leluasa di wilayah-wilayah pemerintahan
Hindia Belanda yang berdekatan dengan negara Kesultanan Banjar. Pada
tanggal 26 Juni 1835, Barnstein, penginjil pertama
Kalimantan tiba di Banjarmasin dan mulai menyebarkan agama Kristen. Pemerintah
lokal Hindia Belanda malahan merintangi upaya-upaya misionaris
Konflik
Keterlibatan
Dayak
(istilah kolektif untuk masyarakat asli Kalimantan) telah mengalami peningkatan
dalam konflik antar etnis. Di awal 1997 dan kemudian pada tahun 1999,
bentrokan-bentrokan brutal terjadi antara orang-orang Dayak dan Madura di
Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Puncak dari konflik ini terjadi di
Sampit pada tahun 2001. Konflik-konflik ini pun kemudian menjadi topik
pembicaraan di koran-koran di Indonesia. Sepanjang konflik tahun 1997, sejumlah
besar penduduk (baik Dayak maupun Madura) tewas. Muncul berbagai perkiraan
resmi tentang jumlah korban tewas, mulai dari 300 hingga 4.000 orang menurut
sumber-sumber independen.[52] Pada
tahun 1999, orang-orang Dayak, bersama dengan kelompok-kelompok Melayu dan Cina memerangi para pendatang Madura;
114 orang tewas. Menurut seorang tokoh masyarakat Dayak, konflik yang
terjadi belakangan itu pada awalnya bukan antara orang-orang Dayak dan Madura,
melainkan antara orang-orang Melayu dan Madura. Kendati terdapat fakta
bahwa hanya ada beberapa orang Dayak saja yang terlibat, tetapi media massa
membesar-besarkan keterlibatan Dayak. Sebagian karena orang-orang Melayu yang
terlibat menggunakan simbol-simbol budaya Dayak saat kerusuhan terjadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar