KEBUDAYAAN AMBON
A.
IDENTIFIKASI BUDAYA AMBON
Ambon adalah
sebuah suku yang mendiami daerah kepulauan yang sekarang terletak di Provinsi
Maluku. Nama Maluku sendiri sebenarnya berasal dari bahasa Arab, yakni
al-muluk. Penamaan tersebut dikarenakan yang membuat peta daerah Maluku adalah
para sarjana geografi Arab. Tetapi setelah Belanda masuk, kata tersebut dirubah
menjadi Maluku.
Maluku
didominasi oleh ras suku bangsa Melania Pasifik, yang masih berkerabat dengan
Fiji, Tonga, dan beberapa bangsa kepulauan yang tersebar di kepulauan Samudera
Pasifik. Sementara itu suku pendatang kebanyakan berasal dari daerah Buton,
Makassar, Bugis, Cina dan Arab. Maluku juga memiliki ikatan tradisi dengan
bangsa-angsa kepulauan pasifik seperti bahasa, lagu daerah, makanan, perangkat
peralatan rumah tangga dan alat musik.
Orang-orang
suku Ambon umumnya memiliki kulit gelap, rambut ikal, kerangka tulang besar dan
kuat. Profil tubuh mereka lebih atletis dibandingkan dengan suku lain di
Indonesia dikarenakan aktifitas utama mereka merupakan aktifitas laut seperti
berlayar dan bernenang.
Pendukung
kebudayaan di Maluku terdriri dari ratusan sub suku, yang dapat diindikasikan
dari pengguna bahasa lokal yang diketahui masih aktif dipergunakan sebanyak 117
dari jumlah bahasa lokal yang pernah ada. Meskipun masyarakat di daerah ini
mencerminkan karakteristik yang multikultur, tetapi pada dasarnya mempunyai
kesamaan nilai budaya sebagai representasi kolektif. Salah satunya adalah
filosofi Siwalima yang selama ini telah melembaga sebagai cara pandang
masyarakat tentang kehidupan bersama dalam kepelbagaian. Di dalam filosofi ini,
terkandung berbagai pranata yang memiliki nlai umum dan dapat ditemukan di
seluruh wilayah Maluku.
Pulau
Ambon merupakan pulau
yang terletak di Kepulauan Maluku, di selatan Pulau Seram. Saat ini merupakan
letak kota Ambon ibukota dari provinsi Maluku.
B.
KEHIDUPAN SOSIAL KEMASYARAKATAN
Desa adat suku
Ambon dibangun sepanjang jalan utama antara satu desa dengan desa yang lain
saling berdekatan, atau bisa juga dalam bentuk kelompok yang terdiri dari
rumah-rumah yang dipisahkan oleh tanah pertanian. Bentuk kelompok kecil
rumahrumah itu disebut ”Soa”. Rumah asli Ambon, sama seperti di Nias, Mentawai,
Bugis Toraja, dan suku lainnya di Indonesia, dibangun dengan tiang kayu yang
tinggi. Beberapa “Soa” yang letaknya berdekatan satu dengan yang lain dalam
sebuah kampung yang disebut dengan ”Aman”. Kumpulan dari beberapa ”Aman”
disebut dengan ”Desa” yang juga disebut dengan ”Negari” dan dipimpin oleh
seorang ”Raja” yang diangkat dari klen-klen tertentu yang memerintah secara
turun-temurun, dan kekuasaan di dalam negari dibagi-bagi untuk seluruh klen
dalam komunitas negeri. Pusat dari sebuah Negari dapat dilihat dengan adanya
balai pertemuan, rumah raja, gereja, masjid, rumah alim ulama, toko, dan
kandang berbagai hewan peliharaan.
Dalam proses
sosio-historis, ”negari-negari” ini mengelompok dalam komunitas agama tertentu,
sehingga timbul dua kelompok masyarakat yang berbasis agama, yang kemudian
dikenal dengan sebutan Ambon Sarani dan Ambon Salam. Pembentukan negeri seperti
in memperlihatkan adanya suatu totalitas kosmos yang mengentalkan solidaritas
kelompok, namun pada dasarnya rentan terhadap kemungkinan konflik. Oleh sebab
itu, dikembangkanlah suatu pola manajemen konflik tradisional sebagai
pencerminan kearifan pengetahuan lokal guna mengatasi kerentanan konflik
seperti Pela, Gandong; yang diyakini mempunyai kekuatan supranatural yang
sangat mempengaruhi perilaku sosial kedua kelompok masyarakat ini; dan hubungan
kekerabatan lainnya.
C.
SISTEM KEMASYARAKATAN
Dalam kehidupan
masyarakat Maluku pada umumnya dan Ambon pada khususnya, hubungan persaudaraan
atau kekeluargaan terjalin atau terbina sangat akrab dan kuat antara satu desa
atau kampung dengan desa atau kampung yang lain. Hubungan kekeluargaan atau
persaudaraan yang terbentuk secara adat dan merupakan budaya orang Maluku atau
Ambon yang sangat dikenal oleh orang luar itu dinamakan dengan istilah “PELA”.
Hubungan pela
ini dibentuk oleh para datuk atau para leluhur dalam ikatan yang begitu kuat.
Ikatan pela ini hanya terjadi antara desa kristen dengan desa kristen dan juga
desa kristen dengan desa islam. Sedangkan antara desa Islam dengan desa Islam
tidak terlihat (Frank L. Cooley, Mimbar dan Takhta, Jakarta: PSH, 1987, hlm
183). Dengan demikian, walaupun ada dua agama besar di Maluku (Ambon), akan
tetapi hubungan mereka memperlihatkan hubungan persaudaraan ataupun
kekeluargaan yang begitu kuat. Namun seperti ungkapan memakan si buah malakama
atau seperti tertimpa durian runtuh, hubungan kekeluargaan atau persaudaraan
yang begitu kuatpun mendapat cobaan yang sangat besar, sehingga tidak dapat
disangkali bahwa hubungan yang begitu kuat dan erat, ternyata pada akhirnya
bisa diruntuhkan oleh kekuatan politik yang menjadikan agama sebagai alat
pemicu kerusuhan yang sementara bergejolak di Maluku (Ambon), yang sampai
sekarang sulit untuk dicari jalan keluarnya.
Hubungan
persaudaraan dan kekeluargaan yang begitu kuat dipatahkan dengan kekuatan agama
yang dilegitimasi oleh kekuatan politik hanya karena kepentingan-kepentingan
big bos atau orang-orang tertentu. Apakah budaya “Pela (Gandong)” bisa menjadi
jembatan lagi untuk mewujudkan rekonsiliasi di Maluku (Ambon)? Inilah yang
masih merupakan pergumulan.
Seperti telah
dijelaskan sebelumnya bahwa setiap ”Soa” dipimpin oleh seorang kepala ”Soa”,
yang bertugas mengerjakan urusan administrasi harian, baik itu urusan
tradisional, maupun untuk urusan pemerintahan Indonesia. Sedangkan beberapa
kesatuan ”Soa” yang disebut dengan ”Negari”, dipimpin oleh seorang ”raja” yang
diangkat berdasarkan keturunan. Tetapi walaupun ”raja” diangkat berdasarkan
keturunan, aturan adat suku Ambon dalam memilih suatu pemimpin, pada umumnya
dilakukan dengan cara pemilihan dengan cara pemungutan suara. Berikut adalah
beberapa ”Sanitri” atau pejabat tradisional dalam kehidupan sosial masyarakat
Suku Ambon :
Tuan
tanah
Seseorang yang
ahli dalam bidang pertanahan dan kependudukan
Kapitan
Seseorang yang
ahli dalam peperangan
Kewang
Seseorang yang
bertugas untuk menjaga hutan
Marinyo
Seseorang yang
bertugas memberikan berita dan pengumuman. Dalam kemasyarakatan Suku Ambon,
banyak dijumpai Organisasiorganisasi kemasyarakatan yang memiliki berbagi macam
visi dan misi. Berikut beberapa contoh organisasi kemasyarakatan Suku Ambon :
Patalima
Lima bagian,
merupakan orang-orang yang tinggal di sebelah timur. Namun dilihat dari sejarah
di mana Suku Ambon pernah dikuasai oleh Ternate dan Tidore, organisasi ini
nampaknya dibentuk untuk menunjukkan pengaruh kerajaan Ternate dan Tidore, dan
juga untuk membantu pertahanan dari serangan musuh.
Jajaro
Organisasi
kewanitaan Suku Ambon
Ngungare
Organisasi
kepemudaan
Pela
Keras
Organisasi
antar Soa yang fokus pada kegiatan kerjasama suatu proyek antar Soa,
peperangan, dan lain-lain.
Pela
Minum Darah
Hampir sama
dengan Pela Keras. Organisasi ini mengikat persatuan mereka dengan cara
meminum, darah mereka masing-masing yang dicampur menjadi satu.
Pela
Makan Sirih
Organisasi
antar Soa yang fokus pada bidang pembangunan masjid, gereja, dan sekolah
Muhabet
Organisasi yang
mengurus semua kegiatan upacara kematian
Patasiwa
sembilan
bagian, merupakan kelompok orang-orang Alifuru yang bertempa tinggal di sebelah
baratsungai mala sampai ke Teluk upa putih di sebelah selatan. Patasiwa dibagi
menjadi dua kelompok yaitu patasiwa hitam dan patasiwa putih. Patasiwa hitam
wargawarganya di tato, sedangkan patasiwa putih tidak.
Pengertian
Pela
Pela berasal
dari kata “Pila” yang berarti “buatlah sesuatu untuk bersama”. Sedangkan jika
ditambah dengan akhiran -tu, menjadi “pilatu”, artinya adalah menguatkan, usaha
agar tidak mudah rusuh atau pecah. Tetapi juga ada yang menghubungkan kata pela
ini dengan pela-pela yang berarti saling membantu atau menolong. Dengan
beberapa pengertian ini, maka dapat dikatakana bahwa PELA adalaah suatu ikatan
persaudaraan atau kekeluargaan antara dua desa atau lebih dengan tujuan saling
membantu atau menolong satu dengan yang lain dan saling merasakan senasib
penderitaan. Dalam arti bahwa senang dirasakan bersama begitupun susah
dirasakan bersama (Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Maluku, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1977/1978, hlm 27). Ikatan pela ini diikat dengan
suatu sumpah dan dilakukan dengan cara minumdarah yang diambil dari jari-jari
tangan yang dicampur dengan minuman keras lokal maupun dengan cara memakan
sirih pinang. Hubungan pela ini biasanya terjadi karena ada peristiwa yang
melibatkan kedua kepala kampung atau desa, dalam rangka saling membantu dan
menolong satu sama lain. Dalam ikatan pela ini memiliki serangkaian nilai dan
aturan yang mengikat masingmasing pribadi yang tergabung dalam persekutuan
persaudaraan atau kekeluargaan itu. Aturan itu antara lain adalah: tidak boleh
menikah sesama pela atau saudara sekandung dalam pela. Jika hal ini dilakukan maka
akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan atau terjadi hukuman bagi yang
melanggaranya (op.cit., Cooley, hlm 184).
Jenis-Jenis
Pela
a)
Pela Keras Atau Pela Minum Darah
Dikatakan
demikian oleh karena pela ini ditetapkan melalui sumpah para pemimpin leluhur
kedua belah pihak dengan cara meminum darah yang diambil dari jari-jari mereka
yang dicampur dengan minuman keras lokal dari satu gelas. Hal ini memateraikan
sumpah persaudaraan untuk selama-lamanya. Pela ini biasanya atau umumnya adalah
hasil dari keadaan perang. Artinya bahwa setelah kedua kapitan dari dua desa
tersebut saling bertarung dan pada akhirnya tidak ada yang bisa saling
mengalahkan, maka diangkat sumpah untuk mengakhiri permusuhan itu. Sumpah itu
dimaksudkan untuk mengikat “persaudaraan darah” untuk selamanya. Sehingga dalam
perkembangannya jika yang satu mereka susah atau memerlukan bantuan, maka yang
lain harus membantu. Inilah komitmen yang sudah merupakan kewajiban ataupun
keharusan. Semua warga dari desa-desa yang angka pela ini tidak terlepas dari
tuntutan-tuntutan, antara lain:
- tidak boleh
menikah
- saling
membantu dan memikul beban.
Pela keras ini
biasa disebut juga dengan pela tuni ataupun pela batukarang.
b)
Pela Lunak Atau Pela Tampa Sirih
Jenis pela ini
tidak diikat dengan sumpah yang memakai darah, tetapi hanya dengan memakan
sirih pinang. Ikatan pela ini terjadi karena bertemu dalam situasi yang
mengundang untuk saling membantu, misalnya pada saat terjadi angin ribut ada
yang menolongnya. Ataupun juga pela jenis ini terbentuk melalui kegiatan masohi
atau bantuan tenaga dari satu desa pada desa lain. Pela ini tidaklah keras,
karena tidak dilarang untuk menikah sesama pela.
c)
Pela Ade Kaka
Pela jenis ini
pada umumnya merupakan hasil pertemuan kembali antara adik-kakak yang
bersaudara dimana tadinya berpencar dan telah membentuk kampung sendiri.
Umumnya pela saudara ini berlangsung antara kampung-kampung yang beragama
kristen dan Islam. Pela ini biasanya dikenal dengan nama Pela Gandong. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa walaupun ada berbagai jenis pela akan tetapi
semuanya mempunyai hakekat yang satu, yaitu ikatan persaudaraan atau
kekeluargaan yang berlangsung untuk selamanya karena diikat dengan sumpah
darah.
Panas
Pela
Panas Pela
adalah suatu kegiatan yang dilakukan setiap tahun antara desa yang telah
sama-sama mengankat sumpah dalam ikatan pela untuk mengenangkan kembali
peristiwa angka pela yang terjadi pada awalnya. Selain itu juga kegiatan panas
pela ini juga pada intinya adalah untuk lebih menguatkan, mengukuhkan hubungan
persaudaraan dan kekeluargaan.
Hubungan
Budaya Pela Dengan Rekonsiliasi
Pada hakikatnya
pela telah mengandung unsur rekonsiliasi. Oleh karena dalam budaya pela itu
sendiri dinyatakan bagaimana ikatan yang kuat dalam menjalin kedamaian ata
kehidupan yang saling merasakan susah dan senang secara bersama. Akan tetapi
dengan melihat situasi yang terjadi akhir-akhir ini yang menumbangkan ikatan
pela oleh karena ikatan agama yang begitu kuat karena permainan politik yang
menggunakan agama sebagai kendaraan, maka tidak dapat disangkal, pasti semua
orang akan bertanya mengapa ikatan persaudaraan yang begitu kuat mengikat
hubungan antara desa yang satu dengan yang lain, apalagi ikatan agama dapat
runtuh. Inilah suatu pergumulan.
D. SISTEM KEKERABATAN
Sistem
kekerabatan orang Ambon berdasarkan hubungan patrilineal
yang diiringi pola menetap patrilokal. Kesatuan kekerabatan
amat penting yang lebih besar dari keluarga batih adalah mata
rumah atau fam yaitu suatu kelompok kekerabatan yang bersifat
patrilinal.
Mata rumah
penting dalam hal mengatur perkawinan warganya secara exogami
dan dalam hal mengatur penggunaan tanah-tanah deti yaitu
tanah milik kerabat patrilineal.Disamping kesatuan kekerabatan yang bersifat
unilateral itu ada juga kesatuan lain yang lebih
besar dan bersifat bilateral yaitu famili atau
kindred. Famili merupakan kesatuan kekerabatan di sekeliling
individu yang terdiri dari warga-warga yang masih hidup dari mata rumah asli yaitu semua keturunan
keempat nenek moyang.
E. MATA PENCAHARIAN
Mata
pencaharian orang Ambon pada umumnya adalah pertanian di ladang. Dalam hal ini
orang membuka sebidang tanah di hutan dengan menebang pohon-pohon dan membakar
batangbatang serta dahan-dahan yang telah kering. Ladang-ladang yang telah
dibuka dengan cara demikian hanya diolah sedikit dengan tongkat kemudian
ditanami tanpa irigasi. Umumnya tanaman yang mereka tanam adalah kentang, kopi,
tembakau, cengkih, dan buahbuahan. Selain itu, orang Ambon juga sudah menanam
padi dengan teknik persawahan Jawa.
Sagu adalah
makanan pokok orang Ambon pada umumnya, walaupun sekarang beras sudah biasa
mereka makan. Akan tetapi belum menggantikan sagu seluruhnya. Tepung sagu
dicetak menjadi blok-blok empat persegi dengan daun sagu dan dinamakan tuman.
Cara orang Ambon makan sagu dengan membakar tuman atau dengan memasaknya
menjadi bubur kental (pepedu).
Disamping
pertanian, orang Ambon kadang-kadang juga memburu babi hutan, rusa dan burung
kasuari. Mereka menggunakan jerat dan lembing yang dilontarkan dengan jebakan.
Hampir semua penduduk pantai menangkap ikan. Orang menangkap ikan dengan
berbagai cara, yaitu dengan kail, kait, harpun dan juga jaring. Perahu-perahu
mereka dibuat dari satu batang kayu dan dilengkapi dengan cadik yang dinamakan
perahu semah. Perahu yang lebih baik adalah perahu yang dibuat orangorang
ternate yang dinamakan pakatora. Perahu-perahu besar untuk berdagang di Amboina
dinamakan jungku atau orambi.
F.
AGAMA DAN ADAT
Mayoritas
penduduk di Maluku memeluk agama Kristen dan Islam. Hal ini dikarenakan
pengaruh penjajahan Portugis dan Spanyol sebelum Belanda yang telah menyebarkan
kekristenan dan pengaruh kesultanan Ternate dan Tidore yang menyebarkan Islam
di wilayah Maluku.
Pemantapan
kerukunan hidup beragama dan antar umat beragama masih mengalami gangguan
khususnya selama pertikaian sosial di daerah ini. Redefinisi dalam rangka
reposisi agama sebagai landasan dan kekuatan moral, spiritual serta etika dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara harus mendapatkan perhatian
yang sungguh-sungguh melalui pendidikan agama agar dapat mendorong munculnya
kesadaran masyarakat bahwa perbedaan suku, agama ras dan golongan, pada
hakekatnya merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa. Terkait dengan itu, maka
peran para pemuka agama dan institusi-institusi keagamaan dalam mendukung
terciptanya keserasian dan keselarasan hidup berdasarkan saling menghormati
diantara sesama dan antar sesama umat beragama.
G.
UPACARA ADAT
§ ”Antar
Sontong”
Antar sontong
yaitu para nelayan berkumpul menggunakan perahu dan lentera untuk mengundang
cummi-cumi dari dasar laut mengikuti cahaya lentera mereka menuju pantai di
mana masyarakat sudah menunggu mereka untuk menciduk mereka dari laut.
§ ”Pukul
Manyapu”
Pukul manyapu
adalah acara adat tahunan yang dilakukan di Desa Mamala-Morela yang biasanya
dilakukan pada hari ke 7 setelah Hari Raya Idul Fitri.
H.
SISTEM PERKAWINAN
Orang Ambon
mengenal tiga macam cara perkawinan yaitukawin lari, kawin minta dan kawin
masuk.
Kawin
Lari atau Lari Bini adalah sistem perkawinan yang paling
lazim. Hal ini terutama disebabkan karena orang Ambon umumnya lebih suka
menempuh jarak pendek untuk menghindari prosedur perundingan dan upacara. Kawin
lari sebenarnya tidak diinginkan dan dipandang kurang baik oleh kaum kerabat
wanita namun disukai oleh pihak pemuda. Terutama karena pemuda hendak
menghindari kekecewaan mereka bila ditolak dan menghindari malu dari keluarga
pemuda karena rencana perkawinan anaknya ditolak oleh keluarga wanita. Bisa
juga karena takut keluarga wanita menunggu sampai mereka bisa memenuhi segala
persyaratan adat.
Bentuk
perkawinan ang kedua adalah Kawin Minta yang
terjadi apabila seorang pemuda telah menemukan seorang gadis yang hendak
dijadikan istri, maka ia akan memberitahukan hal itu kepada orang tuanya.
Kemudian mereka mengumpulkan anggotafamili untuk
membicarakan masalah itu dan membuat rencana perkawinan. Disini diperbincangkan
pula pengumpulan kekayaan untuk membayar mas kawin, perayaan perkawinan dan
sebagainya. Akan tetapi cara perkawinan semacam ini umumnya kurang diminati
terutama bagi keluarga ang kurang mampu karena membutuhkan biaya yang besar.
Bentuk
perkawinan yang ketiga adalah Kawin Masuk atau Kawin Manua. Pada perkawinan ini, pengantin pria
tinggal dengan keluarga wanita. Ada tiga
sebab utama terjadinya perkawinan ini:
1. Karena kaum kerabat si pria
tidak mampu membayar mas kawin secara adat.
2. Karena keluarga si
gadis hanya memiliki anak tunggal dan tidak punya anak laki-laki sehingga si
gadis harus memasukkan suaminya ke dalam klen ayahnya untuk menjamin kelangsungan
klen.
3. Karena ayah si pemuda tidak
bersedia menerima menantu perempuannya yang disebabkan karena perbedaan status
atau karena alasan lainnya.
Orang-orang
yang beragama Islam pada umumnya menikah sesuai dengan hukum Islam. Namun
disini juga terjadi hal yang sama, yaitu apabila sang suami belum mampu
membayar mas kawin menurut adat maka wanita itu tidak perlu ikut bersama
suaminya. Selain wajib membayar mahar (mas kawin menurut hukum Islam),
pengantin laki-laki juga harus membayar harta adat yang berupa sisir mas, gong
dan madanolam. Secara umum, poligini diijinkan, kecuali bagi mereka yang
beragama Nasrani.
BAB II
PRODUK BUDAYA
A.
BUSANA TRADISIONAL AMBON
Ambon merupakan
ibukota propinsi Maluku yang berada di kawasan Maluku Tengah. Keberadaan busana
adat Ambon, tidak hanya didominasi oleh busana yang dikenakan pada saat
menghadiri upacara-upacara saja, melainkan tampak juga dalam busana seharihari.
Meskipun busana adat yang biasa dipakai dalam melaksanakan aktivitas
sehari-hari termasuk jarang digunakan lagi saat ini, keberadaannya tetap
penting untuk diungkapkan sebagai gambaran kekhasan busana mereka di masa lalu.
Ada beberapa
contoh busana yang pada zaman dahulu pernah menjadi busana sehari-hari yang
digunakan untuk bekerja atau di rumah. Celana kes atau hansop, yakni celana
anak-anak yang dibuat dari beraneka macam kain dan dijahit sesuai dengan selera
masing-masing. Kebaya manampal, yaitu kebaya cita berlengan hingga sikut yang
dijahit dengan cara menambal beberapa potong kain yang telah diatur dan disusun
sedemikian rupa dengan rapih. Kebaya jenis ini bisanya berpasangan dengan kain
palekat, yang sudah tidak dipakai untuk berpergian oleh kaum wanita. Kebaya
manapal yang sudah tampak jelek atau sudah tidak pantas lagi untuk dikenakan di
rumah, biasanya dipakai sebagai busana kerja yang disebut kebaya waong. Bila
mereka akan bepergian, jenis busananya masih tetap berupa kebaya cita berlengan
panjang hingga ujung jari yang kemudian dilipat, lengkap dengan kain pelekat.
Selain busana sehari-hari yang telah disebutkan tadi, masih ada lagi
busana lain yang khususnya dipakai oleh untuk kaum wanita yang merupakan
pendatang dari kepulauan Lease dan telah menetap di Ambon ratusan tahun
lamanya. Mereka biasanya mengenakan baju cele, yakni sejenis kebaya berlengan
pendek, dari bagian leher ke arah dada terbelah sepanjang 15 sentimeter tanpa
kancing. Bila akan bepergian, mereka akan melengkapinya dengan sapu tangan.
Untuk busana kerja di rumah atau dikebun, baju cele tersebut dijahit dengan
panjang lengan hingga sikut, atau masyarakat menyebutnya baju cele tangan
sepanggal.
Sementara itu
kaum pria di Ambon mengenakan busana yang terdiri atas baju kurung yang
berlengan pendek dan tidak berkancing, dilengkapi dengan celana kartou yakni
celana yang pada bagian atasnya terdapat tali yang dapat ditarik dan diikatkan.
Khusus untuk kaum pria yang telah lanjut usia, celana yang dipakainya disebut
celana Makasar yang panjangnya sedikit di bawah lutut dan sangat longgar.
Sedangkan busana yang dikenakan pada saat bepergian, biasanya terdiri atas baju
baniang yakni baju berbentuk kemeja yang berlengan panjang dan berkancing,
dengan leher agak tertutup. Pasangannya adalah celana panjang berikut topi yang
dikenakan di kepala.
Penampilan gaya
berbusana warga masyarakat Ambon pada saat menghadiri upacara adat clan upacara
keagamaan berbeda dengan yang dikenakan sehari-hari. Walaupun model bajunya
sama, tapi kualitas bahan yang digunakan berbeda. Busana adat yang dikenakan
dalam kesempatan tersebut biasanya hitam polos atau warna dasar hitam. Kecuali
pada saat upacara sidi yakni upacara pengukuhan pemuda clan pemudi untuk
menjadi pengiring Kristus yang setia. Pada saat itu busana hitam ini ditabukan
atau dilarang digunakan.
Busana dalam
upacara keagamaan biasanya lebih lengkap lagi. Busana wanitanya terdiri atas
baju dan kain hitam atau kebaya dan kain hitam. Dilengkapi dengan kaeng pikol,
yakni kain hitam berhiaskan manik-manik yang disandang di bahu kiri; kole,
yakni baju dalam atau kutang yang dipakai sebelum mengenakan baju atau kebaya
hitam; lenso pinggang, yakni sapu tangan berwarna putih yang kini telah jarang
diletakkan di pinggang melainkan hanya dipegang saja. Sementara itu busana
prianya terdiri atas baniang, kebaya hitam, dan celana panjang, Jenis busana
lain, khususnya dalam upacara sidi, dipakai oleh kaum remaja yang berasal dari
golongan bangsawan diantaranya baju tangan kancing, yakni baju cele berlengan
panjang dengan kancing pada pergelangan tangannya; busana rok, yang terdiri
atas kebaya putih berlengan panjang dan berkancing pada pergelangannya, pending
pengikat pinggang yang terbuat dari perak, bersepatu dengan kaus kaki putih;
dan seperangkat busana yang terdiri atas baju putih panjang, sepatu berwarna
putih, dan kaus tangan berwarna putih.
Adapun busana
yang dikenakan pada saat berlangsung upacara adat seperti pelantikan raja,
pembersihan negeri, penerimaan tamu, dan lain-lain pada dasarnya hampir sama.
Hanya ada penambahan tertentu pada kelengkapan busana mereka. Busana raja
terdiri atas baju hitam, celana hitam, lenso bodasi dililitkan di leher, patala
disalempang di dada, patala di pinggang, dan topi. Begitu pula kaum wanitanya
yang memakai baju hitam seperti baju cele . Para tua-tua adat mengenakan baju
hitam, celana panjang atau celana Makasar, salempang, ikat poro atau ikat
pinggang. Sedangkan pria dewasa lainnya hanya mengenakan baju hitam dan celana
panjang hitam tanpa menggunakan alas kaki.
B.
MAKANAN TRADISIONAL
- Papeda
- Sagu
C. ALAT
MUSIK
- Ukulele
D.
TARIAN TRADISIONAL
- tari perang
BAB III
PERMASALAHAN, PEMBANGUNAN, DAN MODERNISASI
DI AMBON
Peristiwa
Kerusuhan Yang Terjadi Di Ambon
Sebelumnya
mohon ma’af bagi yang sudah pernah membacanya dan karena artikel ini agak
panjang. Paling tidak informasi ini dapat memberikan sedikit gambaran kepada
kita atas runtutan peristiwa kerusuhan yang terjadi di Ambon.
Sejarah
Islam Di Ambon
Pembantaian,
penghancuran, pembakaran, penjarahan dan pengusiran
secara besar-besaran di Ambon agaknya tak pernah terbayangkan
masyarakat muslim Ambon. Ambon yang dulunya sejuk dan damai,
kini berubah menjadi daerah yang paling mencekam danmenakutkan, khususnya bagi
umat Islam Ambon.
Menilik bentuk
kerusuhan, sasaran penghancuran dan korban yang teraniaya,
maka dapat dipastikan bahwa kerusuhan tersebut benarbenar karena masalah SARA, khususnya agama, meskipun
bukan ini faktor satu-satunya. Bahkan, peristiwa yang
memalukan itu bukan sekedar bernuansa SARA,
tetapi merupakan potret sebuah kebiadaban yang keji
terhadap umat Islam. Kejadian ini sekaligus menjadi pelajaran bagi
bangsa Indonesia, bahwa di mana Islam minoritas di situ Islam
selalu ditindas.
Potensi
Konflik
Sebenarnya
dalam masyarakat Ambon tersimpan potensi konflik yang cukup besar, meskipun
katanya di sana ada budaya pela gandong. Potensi konflik tersebut terlihat pada
komposisi Islam-Kristen yang berimbang dan selama ini terjadi musabaqah dalam
ekonomi, politik dan agama. Potensi tersebut semakin memanas ketika arus
reformasi bergulir dan kepemimpinan politik berada di tangan Habibie yang
diisukan ingin lebih melancarkan Islamisasi, termasuk politik.
Secara
psikologis, keterancaman orang-orang Maluku semakin terasa, dengan naiknya
Habibie di panggung politik nasional yang dianggap sebagai representasi
kekuatan Islam Sulawesi.
Sasaran
Penghancuran Dan Pembantaian
Fakta
membuktikan bahwa sasaran penghancuran dan pembantaian adalah umat Islam. Orang
Islam diklaim sebagai pendatang dan Islam dipandang sebagai agama asing, bukan
agama penduduk asli. Padahal, kalau kita mau jujur pada sejarah, ternyata
Islamlah agama yang lebih awal datang ke Ambon daripada Katholik atau Protestan
yang dibawa penjajah Portugis dan Belanda. Dan harus dicatat bahwa Islam telah
berhasil meletakkan fondasi kebudayaan Ambon dengan nuansa Islami.
Bangsa Eropa
yang pertama sekali datang ke Maluku adalah Portugis (1511). Selain mengeruk
kekayaan alamnya, mereka juga memperkenalkan agama Kristen. Pada tahun 1605
Belanda yang menganut Kristen Protestan merebut benteng Portugis dan
mengusirnya.
Ketika terjadi
perang reformasi di Eropa, orang Belanda yang Protestan memerangi dan membasmi
orang-orang Portugis yang Khatolik. Karena itu, sampai tahun 1950 agama
Protestan menjadi dominan di Ambon.
Namun, sekali
lagi harus dicatat, bahwa Islam jauh lebih dahulu berkembang di Ambon. Islam
mulai masuk ke daerah ini sejak abad ke 7. Sedangkan Khatolik abad ke 16.
Protestan abad 17. Jadi yang meletakkan budaya kehidupan Maluku sebenarnya
adalah Islam.
Tapi, sangat
disayangkan, buku sejarah yang ada, sengaja diselewengkan. Dalam sejarah yang
ditulis “Belanda” itu, hubungan Arab-Indonesia pada abad-abad awal itu
dihilangkan. Seolah-olah Hindu dan China lebih dahulu yang datang ke Maluku.
Padahal Thomas Arnold dalam buku The Preaching of Islam, menjelaskan, yang masuk
lebih awal adalah bangsa Arab.
Nama Maluku
sendiri sebenarnya berasal dari bahasa Arab, yakni almuluk. Penamaan yang
bernuansa Arab itu dikarenakan yang membuat peta daerah Maluku adalah para
sarjana geografi Arab. Tetapi setelah Belanda masuk, kata tersebut dirubah
menjadi Maluku.
Di Maluku,
sebelum kedatangan bangsa Eropa, Islam berkembang pesat, kerajaan Islam berdiri
tegar, seperti Ternate, Tidore. Jadi Islam sebenarnya bukan agama baru di
Maluku. Sejak abad 7-11 Maluku sangat ramai dikunjungi saudagar-saudagar Arab,
Persia dan Gujarat. Selain berdagang mereka juga menyebarkan Islam sampai
kepada raja-raja Maluku. Pada abad XV di bawah pengaruh Sultan Ternate, Tidore
dan Hitu, Islam berkembang dengan pesat pada hampir seluruh pulau-pulau Maluku.
Islam masuk dengan jalan damai, dan penuh kesejukan, tanpa kekerasan.
Dalam
ensiklopedi Indonesia disebutkan bahwa selama menjajah, Belanda juga
menyebarkan agama Kristen, sebagaimana pedagang Arab menyebarkan Islam.
Penduduk Ambon yang mau memeluk Kristen mendapat perlakuan istimewa dari
Kolonial Belanda. Mereka lebih berkesempatan dalam pendidikan dan lowongan
kerja sebagai tentara dan pegawai Belanda. Berdasarkan sejarah di atas, dapat
diketahui bahwa masyarakat Maluku sudah lama terintegrasi dalam sistem politik
Belanda. Sejak itu beribu-ribu orang Ambon Nasrani meninggalkan kampung halaman
untuk bekerja pada dinas militer maupun sipil di seluruh nusantara. Mereka
digunakan sebagai Serdadu Kolonial dalam menguasai wilayah-wilayah Nusantara
yang belum ditaklukkan. Pengalaman penyerbuan Belanda ke Aceh pada 1873 adalah
bagian dari pengalaman orang-orang Ambon yang terkooptasi oleh penjajah.
Pengalaman ini mengubah suasana keterjajahan Ambon Kristen dari orang-orang
yang dieksploitasi habis-habisan di bawah monopoli rempah-rempah menjadi orang
yang bersekutu dengan Belanda.
Secara
ideologis, akibat kedudukan istimewa ini, banyak orang Nasrani merasa mempunyai
hubungan khusus dengan Belanda, karena mempunyai kesamaan agama maupun tugas,
teristimewa kemiliteran (Richard Chauvel, dalam Audrey Kahin, 1985: 244).
Bila
orang-orang Ambon Nashara ikut dalam usaha-usaha kolonial, maka umat Islam
Ambon tak mau ikut serta dalam usaha tersebut. Selain karena Belanda tidak
merekrut mereka, umat Islam juga memang tidak mau bersekongkol dengan penjajah
zalim. Karena itu umat Islam tidak mau memasuki pendidikan dinas militer
Belanda. Maka tak aneh, sampai tahun 1920-an di desa-desa Islam tidak ada
fasilitas pendidikan sekuler. Maka wajar, jika hasil sensus 1950 menunjukkan
bahwa 90% umat Islam masih buta huruf. Jadi, pengalaman orang Ambon Nashara
berbeda sekali dengan pengalaman Ambon muslim.
Orang-orang
Nashara dengan bantuan pendidikan Belanda mendominasi masyarakat Ambon
sedemikian rupa, sehingga banyak orang menyangka bahwa Ambon adalah daerah
Kristen semata. Maka wajar, jika masyarakat Ambon kemudian menganggap Belanda
bukan sebagai penjajah. Hal inilah menurut Chauvel, yang mengakibatkan
proklamasi Kemerdekaan RI 1945, tak banyak mendapat sambutan di sana.
Pada tanggal 24
April 1950 Dr. Soumokil memproklamirkan Republik Maluku Selatan (RMS) yang
melakukan aksi politiknya secara kekerasan. Hubungan Islam-Nasrani yang
demikian tegang, diperkuat oleh kenyataan bahwa para pemimpin sipil RMS berikut
serdadunya
yang semua
terdiri dari orang-orang Nashara. Sementara korban para serdadu itu banyak
orang Islam. Ketakutan ini beralasan, karena menurut catatan Coorly (1968: 267)
jumlah umat Islam terus meningkat yang sebelumnya sekitar 35% menjadi 49% di
awal Orde Baru. Perkembangan ini dianggap sebagai ancaman bagi Kristen di sana.
Karena itu, ketika kerusuhan terjadi tidak mengherankan jika bendera RMS
dinaikkan di berbagai tempat.
Kembali kepada
persoalan nasib ketertinggalan umat Islam di zaman penjajahan Belanda. Bahwa,
era kemerdekaan RI 1945 merupakan angin segar dan nafas baru bagi umat Islam
Ambon untuk mulai berkembang. Secara perlahan ekonomi Islam membaik dan
pendidikan semakin meningkat. Pada awal Orde Baru beberapa sarjana muslim mulai
menduduki posisi posisi penting di Ambon, meskipun belum dominan. Baru pasca
1970, banyak putra daerah (penduduk asli) yang muslim, menduduki
jabatan-jabatan strategis mulai dari tingkat propinsi Maluku hingga kecamatan
secara adil bukan dominatif. Perkembangan Islam yang pesat dalam politik, pendidikan
dan ekonomi ini , dianggap sebagai ancaman. Ketika era reformasi semakin
mengarah kepada
penguatan pengaruh muslim. Maka kerusuhan dan pembersihan etnispun tak
terelakkan. Solusi yang ampuh untuk mengatasinya adalah saling menghormati
sesama pemeluk agama, dapat menahan diri , tidak memperturutkan kebencian
secara emosional dan kembali kepada nilai ajaran agama masing-masing. Sebab
tidak ada satu agamapun yang mengajarkan agar pemeluknya membenci dan memerangi
pemeluk agama lain.
Pembangunan
Dan Modernisasi
Portugal
Akan Bantu Desa Bersejarahnya di Ambon
Ambon (ANTARA
News) – Pemerintah Portugal menjanjikan akan memberikan bantuan kepada sejumlah
desa di Kota Ambon yang memiliki sejarah dan nilai historis dengan bangsa dan
negaranya, kata Dubes Portugal, Jose Imanuel Santos Braga. “Bantuan untuk
desa-desa yang memiliki hubungan sejarah dengan Portugal ini akan segera
dibantu guna memberdayakan masyarakatnya,” kata Duta Besar Portugal untuk RI
itu kepada ANTARA News, seusai melakukan pertemuan dengan Wakil Walikota Ambon,
Dra. Olivia Latuconsina, Selasa.
Sejumlah desa
yang akan dibantu, menurut dia, adalah Desa Tawiri, Hative Besar, Rumah Tiga
dan Galala di Kecamatan Baguala, Desa Batu Merah, Galala, Soya, serta Hatalae
di Kecamatan Sirimau. Ia mengemukakan, masyarakat Portugal selama ini sudah
mengenal secara baik tentang Kota Ambon, namun hanya sebatas dari bukubuku
maupun siaran televisi. “Diharapkan bantuan dan kerja sama dengan desa-desa di
Ambon ini akan lebih mempererat hubungan emosional, serta menjadi daya tarik
tersendiri bagi masyarakat Portugal untuk berkunjung ke Ambon di masa
mendatang,” kata Braga.
Bantuan bagi
desa-desa tersebut, dikatakannya, merupakan proyek jangka pendek bernilai
sekira Rp150 juta hingga Rp300 juta, khususnya untuk pengembangan di bidang
kesehatan, pendidikan dan kebersihan. Pemerintah Portugal pun menaruh perhatian
besar terhadap kepedulian Pemerintah Kota Ambon dan Pemerintah Provinsi Maluku
yang merawat secara baik kondisi benteng “Victoria” yang merupakan salah satu
peninggalan bangsa Portugis di jantung Kota Ambon, bahkan menjadikannya sebagai
salah satu cagar budaya, demikian Jose Braga.
Sementara itu,
Olivia Latuconsina menyambut baik niat Pemerintah Portugal membantu desa-desa
di Kota Ambon yang memiliki keterikatan historis dengan bangsa tersebut. Ia
menilai, kerja sama itu akan terus ditingkatkan hingga menjadi “kota bersaudara
kembar” (sister city), namun hal yang diprioritaskan baru bersifat jangka
pendek sebagai pintu masuk untuk memperoleh bantuan dari negara-negara Eropa.
“Kita fokuskan dulu untuk merealisir program jangka pendek yang telah
disepakati, sehingga benar-benar berdampak untuk pemberdayaan masyarakat yang
terpuruk akibat konflik sejak 1999, terutama pada desa-desa yang memiliki
hubungan historis dengan Portugal. Setelah itu barulah dijajaki kerja sama
jangka
panjang
termasuk kota bersaudara,” demikian Olivia Latuconsina.
Kependudukan
Suku bangsa
Maluku merupakan punduduk asli Pulau Ambon, penduduknya banyak beragama Islam
dan Kristen, selain penduduk asli ada juga suku-suku lain di Indonesia yang
puluhan tahun menetap di Maluku seperti suku Buton dari Sulawesi Tenggara dan
suku Bugis dari Sulawesi Selatan kehidupan mereka banyak yang bercocok dan
pedagang. Sebagian besar penduduk yang beragama Islam mendiami Pulau Ambon
bagian Utara (Lei Hitu) dan sebagian besar penduduk yang beragama Kristen
mendiami pulau Ambon bagian selatan (Lei Timur).
Sejarah
Kota Ambon
mulai berkembang semenjak kedatangan Portugis di tahun 1513, kemudian sekitar
tahun 1575, penguasa Portugis mengerahkan penduduk di sekitarnya untuk
membangun benteng Kota Laha atau Ferangi yang diberi nama waktu itu Nossa Senhora de Anuneiada di dataran Honipopu.
Dalam perkembangannya sekelompok masyarakat pekerja yang membangun benteng tersebut
mendirikan perkampungan yang disebut Soa, kelompok
masyarakat inilah yang menjadi dasar dari pembentukan kota Ambon kemudian (Citade Amboina) karena di dalam perkembangan
selanjutnya masyarakat tersebut sudah menjadi masyarakat geneologis territorial
yang teratur.
Selanjutnya,
setelah Belanda berhasil menguasai kepulauan Maluku dan Ambon khususnya dari
kekuasaan Portugis, benteng tersebut lantas menjadi pusat pemerintahan beberapa
Gubernur Jenderal Belanda dan diberi nama Nieuw Victoria (terletak
di depan Lapangan Merdeka, bekas Markas Yonif Linud 733/Masariku kini markas
Detasemen Kavaleri).
Proses
Asimilasi dan Enkulturasi Pada Suku Ambon
Asimilasi
Pada Suku Ambon
Asimilasi dari
dua kebudayaan ini melahirkan budaya Moloku Kie Raha. Sedangkan corak kehidupan
masyarakatnya dipengaruhi oleh kondisi wilayah Maluku Utara yang terdiri dari
laut dan kepulauan, perbukitan dan hutan-hutan tropis. Desa-desa di Maluku
Utara umumnya (kurang lebih 85 %) terletak di pesisir pantai dan sebagian besar
lainnya berada di pulau-pulau kecil. Oleh sebab itu, pola kehidupan seperti
menangkap ikan, berburu, bercocok tanaman dan berdagang masih sangat mewarnai
dinamika kehidupan sosial-ekonomi masyarakat Maluku Utara (sekitar 79%).
Sementara itu,
ikatan kekerabatan dan integrasi sosial masyarakat secara umum sangat kuat
sebelum terjadi konflik horizontal bernuansa SARA. Ikatan pertalian darah dan
keturunan sesama anggota keluarga didalam satu komunitas di daerah tertentu
sangat erat dan familiar, walaupun keyakinan keagamaan berbeda seperti
masyarakat di kawasan Halmahera bagian utara dan timur. Hubungan ini telah
menumbuhkan harmonisasi dan integrasi sosial yang sangat kuat. Dalam konteks
hubungan Islam dan Kristen, nuansa interaksi sosial tersebut lebih didasarkan
bukan pada pertimbangan kultural dan hubungan kekeluargaan.
Di kalangan
masyarakat Maluku Utara, semboyan yang sekarang yang menjadi motto pemerintah
Provinsi Maluku Utara, yakni Marimoi Ngone Futura Masidika Ngone Foruru
(Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh), adalah ajakan ke arah solidaritas
dan partisipasi. Potensi kultural ini merupakan modal pembangunan yang paling
berharga untuk dikembangkan.
Enkulturasi
Pada Suku Ambon
Proses
enkulturasi pada masyarakat Ambon yaitu Tarian yang merupakan penggambaran
pergaulan anak muda adalah Katreji. Tari Katreji dimainkan secara berpasangan
antara wanita dan pria dengan gerakan bervariasi yang enerjik dan menarik. Tari
ini hampir sama dengan tari-tarian Eropa pada umumnya karena Katreji juga
merupakan suatu akulturasi dari budaya Eropa (Portugis dan Belanda) dengan
budaya Maluku. Hal ini lebih nampak pada setiap aba-aba dalam perubahan pola
lantai dan gerak yang masih menggunakan bahasa Portugis dan Belanda sebagai
suatu proses biligualisme. Tarian ini diiringi alat musik biola, suling bambu,
ukulele, karakas, guitar, tifa dan bas gitar, dengan pola rithm musik barat
(Eropa) yang lebih menonjol. Tarian ini masih tetap hidup dan digemari oleh
masyarakat Maluku sampai sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar